Faktor penyebab Konflik dan Solusinya
Maulana Yusuf Iskandar
Ahmad Nasher
Universitas gunadarma
Faktor Penyebab
konflik :
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendiriankelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakatmenanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atauladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi,
tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan
tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat
pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan
konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya
bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi
nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan.
Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan
waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas
seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan
ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan
proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan
terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan
masyarakat yang telah ada.
Faktor
penyebab kriminalitas :
Separovic (Weda, 1996:76) mengemukakan, bahwa :
Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yaitu (1) faktor
personal, termasuk di dalamnya faktor biologis (umur, jenis kelamin, keadaan
mental dan lain-lain) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan
keteransingan), dan (2) faktor situasional, seperti situasi konflik,
faktor tempat dan waktu.
Dalam perkembangan, terdapat beberapa faktor berusaha menjelaskan
sebab-sebab kejahatan. Dari pemikiran itu, berkembanglah aliran atau
mazhab-mazhab dalam kriminologi. Sebenarnya menjelaskan sebab-sebab kejahatan
sudah dimulai sejak abad ke-18. Pada waktu itu, seseorang yang melakukan
kejahatan dianggap sebagai orang yang dirasuk setan. Orang berpendapat bahwa
tanpa dirasuk setan seseorang tidak akan melakukan kejahatan. Pandangan ini
kemudian ditinggalkan dan muncullah beberapa aliran, yaitu aliran, yaitu aliran
klasik, kartografi, tipologi dan aliran sosiologi berusaha untuk menerangkan
sebab-sebab kejahatan secara teoritis ilmiah.
Aliran klasik timbul dari Inggris, kemudian menyebar luaskan ke Eropa dan
Amerika. Dengan aliran ini adalah psikologi hedonistik. Bagi aliran ini setiap
perbuatan manusia didasarkan atas pertimbangan rasa senang dan tidak senang.
Setiap manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Perbuatan
berdasarkan pertimbangan untuk memilih kesenangan atau sebaliknya yaitu
penderitaan. Dengan demikian, setiap perbuatan yang dilakukan sudah tentu lebih
banyak mendatangkan kesenangan dengan konsekuensi yang telah dipertimbangkan,
walaupun dengan pertimbangan perbuatan tersebut lebih banyak mendatangkan
kesenangan.
Tokoh utama aliran ini adalah Beccaria yang mengemukakan bahwa setiap orang
yang melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang
diperoleh dari perbuatan tersebut. Sementara itu Bentham (Weda, 1996:15)
menyebutkan bahwa the act which i think will give me mosi plesseru.
Dengan demikian, pidana yang berat sekalipun telah diperhitungkan sebagai
kesenangan yang akan diperoleh.
Aliran kedua adalah kartographik para tokoh aliran ini antara lain Quetet
dan Querry. Aliran ini dikembangkan di Prancis dan menyebar ke inggris dan
Jerman. Aliran ini memperhatikan penyebaran kejahatan pada wilayah tertentu
berdasarkan faktor geografik dan sosial. Aliran ini berpendapat bahwa kejahatan
merupakan perwujudan dari kondisi-kondisi sosial yang ada.
Aliran ketiga adalah sosialis yang bertolak dari ajaran Marx dan Engels,
yang berkembang pada tahun 1850 dan berdasarkan pada determinisme ekonomi
(Bawengan, 1974:32). Menurut para tokoh aliran ini, kejahatan timbul disebabkan
adanya sistem ekonomi kapitalis yang diwarnai dengan penindasan terhadap buruh,
sehingga menciptakan faktor-faktor yang mendorong berbagai penyimpangan.
Aliran keempat adalah tipologik. Ada tiga kelompok yang termasuk dalam
aliran ini yaitu Lambrossin. Mental tester, dari psikiatrik yang mempunyai
kesamaan pemikiran dan mitologi, mereka mempunyai asumsi bahwa beda antara
penjahat dan bukan penjahat terletak pada sifat tertentu pada kepribadian yang
mengakibatkan seseorang tertentu berbuat kejahatan dan seseorang lain tadi
kecenderungan berbuat kejahatan mungkin diturunkan dari orang tua atau
merupakan ekspresi dari sifat-sifat kepribadian dan keadaan sosial maupun
proses-proses lain yang menyebabkan adanya potensi-potensi pada orang tersebut
(Dirjosisworo, 1994:32).
Ketiga kelompok tipologi ini berbeda satu dengan yang lainnya dalam
penentuan ciri khas yang membedakan penjahat dan bukan penjahat. Menurut
Lambroso kejahatan merupakan bakat manusia yang dibawa sejak lahir. Oleh karena
itu dikatakan bahwa “criminal is born not made” (Bawengan, 1974).
Ada beberapa proposisi yang di kemukakan oleh Lambroso, yaitu : (1)
penjahat dilahirkan dan mempunyai tipe yang berbeda-beda, (2) tipe ini biasa
dikenal dari beberapa ciri tertentu seperti tengkorak yang asimetris, rahang
bawah yang panjang, hidung yang pesek, rambut panjang yang jarang dan tahan
terhadap rasa sakit tanda ada bersamaan jenis tipe penjahat, tiga sampai lima
diragukan dan di bawah tiga mungkin bukan penjahat, (3) tanda-tanda lahirilah
ini bukan merupakan penyebab kejahatan tetapi merupakan tanda pengenal
kepribadian yang cenderung mempunyai perilaku kriminal.
Ciri-ciri ini merupakan pembaharuan sejak lahir, (4) karena adanya kepribadian
ini, maka tidak dapat menghindar dari melakukan kejahatan kecuali bila
lingkungan dan kesempatan tidak memungkinkan, dan (5) penjahat-penjahat seperti
pencuri, pembunuh, pelanggar seks dapat dibedakan oleh tanda tertentu.
Setelah menghilangnya aliran Lambroso, muncullah aliran mental
tester. Aliran ini dalam metodologinya menggunakan tes mental. Menurut
Goddart (Weda, 1996:18), setiap penjahat adalah orang yang feeble mindedness (orang
yang otaknya lemah). Orang yang seperti ini tidak dapat pula menilai akibat
perbuatannya tersebut. Kelemahan otak merupakan pembawaan sejak lahir serta
penyebab orang melakukan kejahatan.
Kelompok lain dari aliran tipologi adalah psikiatrik. Aliran ini lebih
menekankan pada unsur psikologi, yaitu pada gangguan emosional. Gangguan
emosional diperoleh dalam interaksi sosial oleh karena itu pokok ajaran ini
lebih mengacu organisasi tertentu daripada kepribadian seseorang yang
berkembang jauh dan terpisah dari pengaruh-pengaruh jahat tetap akan
menghasilkan kelakuan jahat, tanpa mengingat situasi-situasi sosial.
Aliran sosiologis menganalisis sebab-sebab kejahatan dengan memberikan
interpretasi, bahwa kejahatan sebagai “a function of environment”. Tema
sentral aliran ini adalah “that criminal behaviour results from the same processes
as other social behaviour”. Bahwa proses terjadinya tingkah laku jahat
tidak berbeda dengan tingkah laku lainnya, termasuk tingkah laku yang baik.
Salah seorang tokoh aliran ini adalah Sutherland. Ia mengemukakan bahwa
perilaku yang dipelajari di dalam lingkungan sosial. Semua tingkah laku sosial
dipelajari dengan berbagai cara.
Munculnya teori Asosiasi diferensial oleh Sutherland ini didasarkan pada
sembilan proposisi (Atmasasmita, 1995:14-15) yaitu :
a) Tingkah laku kriminal dipelajari
b) Tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi
dengan orang lain dalam suatu proses komunitas.
c) Bagian yang terpenting dari mempelajari tingkah
laku kriminal itu terjadi di dalam kelompok-kelompok orang intim/ dekat.
d) Ketika tingkah laku kriminal dipelajari,
pembelajaran itu termasuk (a) teknik-teknik melakukan kejahatan, yang kadang
sulit, kadang sangat mudah dan (b) arah khusus dari motif-motif,
dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi dan sikap.
e) Arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan
itu dipelajari melalui definisi-definisi dari aturan-aturan hukum apakah ia
menguntungkan atau tidak
f) Seseorang menjadi delikuen karena
definisi-definisi yang menguntungkan untuk melanggar hukum lebih dari
definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum.
g) Asosiasi diferensial itu mungkin bervariasi
tergantung dari frekuensinya, durasinya, prioritasnya dan intensitasnya.
h) Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui
asosiasi dengan pola-pola kriminal dan arti kriminal melibatkan semua mekanisme
yang ada di setiap pembelajaran lain.
i) Walaupun tingkah laku kriminal
merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut,
karena tingkah laku non kriminal juga ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan
nilai-nilai yang sama.
Pada awal 1960-an muncullah perspektif label. Perspektif ini memiliki
perbedaan orientasi tentang kejahatan dengan teori-teori lainnya. Perspektif
label diartikan dari segi pemberian nama, yaitu bahwa sebab utama kejahatan
dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh masyarakat untuk
mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya (dirdjosisworo,
1994:125).
Menurut Tannenbaum (Atmasasmita 1995:38) kejahatan tidak sepenuhnya
merupakan hasil dari kekurang mampuan seseorang tetapi dalam kenyataannya, ia
telah dipaksa untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya.
Lemert (Purnianti, 1994:123) menunjukkan adanya hubungan pertalian antara
proses stigmatisasi, penyimpangan sekunder dan konsekuensi kehidupan karir
pelaku penyimpangan atau kejahatan. Yang diberi label sebagai orang yang
radikal atau terganggu secara emosional berpengaruh terhadap bentuk konsep diri
individu dan penampilan perannya.
Pendekatan lain yang menjelaskan sebab-sebab kejahatan adalah pendekatan
sobural, yaitu akronim dari nilai-nilai sosial, aspek budaya, dan faktor
struktur yang merupakan elemen-elemen yang terdapat dalam setiap masyarakat
(Sahetapy, 1992:37). Aspek budaya dan faktor struktural merupakan dua elemen
yang saling berpengaruh dalam masyarakat. Oleh karena itu, kedua elemen
tersebut bersifat dinamis sesuai dengan dinamisasi dalam masyarakat yang
bersangkutan. Ini berarti, kedua elemen tersebut tidak dapat dihindari dari
adanya pengaruh luar seperti ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya.
Kedua elemen yang saling mempengaruhi nilai-nilai sosial yang terdapat dalam
masyarakat. Dengan demikian, maka nilai-nilai sosial pun akan bersifat dinamis
sesuai dengan perkembangan aspek budaya dan faktor struktural dalam masyarakat
yang bersangkutan.
Cara mengatasi konflik :
Sementara itu, untuk menyelesaikan konflik, secara teoretis ada banyak
sekali model, namun dalam tulisan ini hanya akan di sajikan beberapa model
saja. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, model penyelesaian berdasarkan sumber konflik. Dalam model ini, untuk bisa penyelesaian konflik dituntut untuk terlebih dahulu diketahui sumber-sumber konflik: apakah konflik data, relasi, nilai, struktural, kepentingan dan lain sebagainya. Setelah diketahui sumbernya, baru melangkah untuk menyelesaikan konflik. Setiap sumber masalah tentunya memiliki jalan keluar masing-masing sehingga menurut model ini, tidak ada cara penyelesaian konfliktunggal.
Kedua, model Boulding. Model Boulding menawarkan metode mengakhiri konflik dengan tiga cara, yakni menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri konflik sesuai prosedur. Menghindari konflik adalah menawarkan kemungkinan pilihan sebagai jawaban terbaik. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa ini hanya bersifat sementara agar kedua pihak dapat memilih jalan terbaik mengakhiri konflik. Menaklukkan adalah pengerahan semua kekuatan untuk mengaplikasikan strategi perlawanan terhadap konflik. Mengakhiri konflik melalui prosedur rekonsiliasi atau kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling cepat mengakhiri konflik.
Ketiga, model pluralisme budaya. Model pluralisme budaya, dapat membantu untuk melakukan resolusi konflik. Misalnya, individu atau kelompok diajak memberikan reaksi tertentu terhadap pengaruh lingkungan sosial dengan mengadopsi kebudayaan yang baru masuk. Inilah yang kemudian disebut sebagai asimilasi budaya. Selain asimilasi, faktor yang bisa membuat kita menyelesaikan konflik adalah akomodasi. Dalam proses akomodasi, dua kelompok atau lebih yang mengalami konflik harus sepakat untuk menerima perbedaan budaya, dan perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama.
Keempat, model intervensi pihak ketiga. Dalam model ini ada beberapa bentuk, yakni coercion, arbitrasi, dan mediasi. Coercion adalah model penyelesaian konflik dengan cara paksaan, di mana masing-masing pihak dipaksa untuk mengakhiri konflik. Arbitrasi adalah penyelesaian konflik dengan cara mengambil pihak ketiga untuk memutuskan masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga harus dipatuhi oleh masing-masing pihak.
Pertama, model penyelesaian berdasarkan sumber konflik. Dalam model ini, untuk bisa penyelesaian konflik dituntut untuk terlebih dahulu diketahui sumber-sumber konflik: apakah konflik data, relasi, nilai, struktural, kepentingan dan lain sebagainya. Setelah diketahui sumbernya, baru melangkah untuk menyelesaikan konflik. Setiap sumber masalah tentunya memiliki jalan keluar masing-masing sehingga menurut model ini, tidak ada cara penyelesaian konfliktunggal.
Kedua, model Boulding. Model Boulding menawarkan metode mengakhiri konflik dengan tiga cara, yakni menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri konflik sesuai prosedur. Menghindari konflik adalah menawarkan kemungkinan pilihan sebagai jawaban terbaik. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa ini hanya bersifat sementara agar kedua pihak dapat memilih jalan terbaik mengakhiri konflik. Menaklukkan adalah pengerahan semua kekuatan untuk mengaplikasikan strategi perlawanan terhadap konflik. Mengakhiri konflik melalui prosedur rekonsiliasi atau kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling cepat mengakhiri konflik.
Ketiga, model pluralisme budaya. Model pluralisme budaya, dapat membantu untuk melakukan resolusi konflik. Misalnya, individu atau kelompok diajak memberikan reaksi tertentu terhadap pengaruh lingkungan sosial dengan mengadopsi kebudayaan yang baru masuk. Inilah yang kemudian disebut sebagai asimilasi budaya. Selain asimilasi, faktor yang bisa membuat kita menyelesaikan konflik adalah akomodasi. Dalam proses akomodasi, dua kelompok atau lebih yang mengalami konflik harus sepakat untuk menerima perbedaan budaya, dan perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama.
Keempat, model intervensi pihak ketiga. Dalam model ini ada beberapa bentuk, yakni coercion, arbitrasi, dan mediasi. Coercion adalah model penyelesaian konflik dengan cara paksaan, di mana masing-masing pihak dipaksa untuk mengakhiri konflik. Arbitrasi adalah penyelesaian konflik dengan cara mengambil pihak ketiga untuk memutuskan masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga harus dipatuhi oleh masing-masing pihak.
Cara mengatasi kriminalitas :
Mengenakan sanksi hukum yang tegas dan adil kepada para pelaku kriminalitas
tanpa pandang bulu atau derajat.
Mengaktifkan peran serta orang tua dan lembaga pendidikan dalam mendidik
anak.
Selektif terhadap budaya asing yang masuk agar tidak merusak nilai busaya
bangsa sendiri.
Menjaga kelestarian dan kelangsungan nilai norma dalam masyarakat dimulai
sejak dini melalui pendidikan multi kultural; seperti sekolah, pengajian, dan
organisasi masyarakat.
- Sumber : http://jihanmeutia.blogspot.co.id/2012/05/faktor-penyebab-konflik-dan.html
Komentar
Posting Komentar