Solusi mengatasi Tawuran pada Remaja
Maulana Yusuf Iskandar
Ahmad Nasher
Universitas gunadarma
Perkelahian, atau yang
sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya”
antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang
mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja. Terlihat dari tahun
ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Tawuran yang selalu
terjadi apabila dapat dikatakan hampir setiap bulan minggu bahkan mungkin hari
selalu terjadi perkelahian antar pelajar yang kadang-kadang berujung dengan
hilangnya satu nyawa pelajar secara sia-sia. Pelajar yang seharusnya menimba
ilmu di sekolah untuk masa depan yang lebih baik menjadi penerus bangsa malah
berkeliaran diluar.
Tawuran pelajar yang
terjadi bertubi-tubi, khususnya di Jakarta, telah mencapai taraf yang
memprihatinkan. Serempak, baik masyarakat maupun pemerintah, mengecap anak-anak
ini sebagai pelaku kriminal, penjahat yang perlu dihukum seberat-beratnya.
Semua orang pasti mempertanyakan “Pernahkah kita berfikir, mengapa
anak-anak tega membunuh temannya sendiri? Apakah tidak ada andil dari pihak
lain yang menyebabkan anak tega melakukan tindakan seperti ini?”. dan menurut
saya yang harusnya patut dipertanyakan tentang tanggung jawab itu yaitu ke
pihak keluarga mereka masing. Salah satu faktor penyebab terjadinya tawuran
antarpelajar ialah ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan kewajiban dan
tanggung jawabnya dalam melindungi anak. Padahal, dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak (UUPA) Pasal 26 Ayat 1 telah ditegaskan bahwa orangtua berkewajiban dan
bertanggung jawab dalam melindungi anak, baik dalam hal mengasuh, memelihara,
mendidik, melindungi, maupun mengembangkan bakat anak. Karena agak tidak tepat
sasaran kalau kita menyalahkan pihak sekolah atas terjadinya tawuran. Karena
mungkin pihak sekolah bukannya seperti menutup mata atas apa yang terjadi pada
anak didiknya tapi itu semua karena terbatasnya kewajiban mereka sebagai
pendidik, yang secara tidak langsung dapat dikatakan pihak sekolah tidak dapat
selalu memantau apa yang terjadi diluar sekolah karena banyaknya anak-anak yang
harus mereka pantau.
Dalam pandangan
psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam
diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan
kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan,
terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat
perkelahian pelajar.
1. Faktor
internal. Remaja yang
terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi
lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman
pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang
makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan
pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang
mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan
dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah,
menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan
cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi,
ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi
yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan
rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor
keluarga. Rumah
tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas
berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan
adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan
kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika
remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani
mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya,
ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian
dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor
sekolah. Sekolah
pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya
menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas
pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya
untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak
relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan
menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama
teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas
memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai
penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya
juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik”
siswanya.
4. Faktor
lingkungan. Lingkungan
di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak
terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan
kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu
pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga
lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat
merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi
emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Berikut ini saya akan
memaparkan beberapa solusi alternative yang mungkin akan dapat berguana untuk
mengurangi tawauran antar pelajar ini:
Para Siswa wajib
diajarkan dan memahami bahwa semua permasalahan tidak akan selesai jika
penyelesaiannya dengan menggunakan kekerasan.
Lakukan komunikasi dan
pendekatan secara khusus kepada para pelajar untuk mengajarkan cinta kasih.
Pengajaran ilmu
beladiri yang mempunyai prinsip penggunaan untuk menyelamatkan orang dan bukan
untuk menyakiti orang lain.
Ajarkan ilmu sosial
Budaya, ilmu sosial budaya sangat bermanfaat untuk pelajar khususnya, yaitu
agar tidak salah menempatkan diri di lingkungan masyarakat.
Bagi para orang tua,
mulailah belajar jadi sahabat anak-anaknya. Jangan jadi polisi, hakim atau
orang asing dimata anak. Hal ini sangat penting untuk memasuki dunia mereka dan
mengetahui apa yang sedang mereka pikirkan atau rasakan. Jadi kalau ada masalah
dalam kehidupan mereka orang tua bisa segera ikut menyelesaikan dengan bijak
dan dewasa.
Bagi para Polisi dan
aparat keamanan, jangan segan dan aneh untuk dekat dengan para pelajar secara
profesional, khususnya yang bermasalah-bermasalah itu. Lebih baik tidak
menggunakan acara-acara formal dalam pendekatan ini, melainkan masuk dengan
cara santai dan rileks. Upama ketika para pelajar ini cangkrukkan atau
kumpul-kumpul, ikutlah kumpul dengan mereka secara kekeluargaan dan gaul,
sehingga mereka akan merasa ada kepedulian dari negara atas masalah mereka.
Aparat Polisi dan keamanan yang gaul dan bisa mereka terima akan menjadi kode
bahwa negara memperhatikan generasi ‘lupa diri’ ini untuk kembali menjadi ingat
bahwa tak ada alasan yang cukup kuat bagi mereka menggelar tawuran.
Pada awal masuk sekolah,
sebagian pelajar yang tawuran ini sebenarnya jarang yang saling kenal. Jika
kemudian mereka menjadi beringas dengan orang yang sama sekali sebelumnya tak
dikenal, karena ada kata-kata, dendam, slogan, pemikiran, hasutan dan
sejenisnya yang masuk kepada mereka dari senior atau orang luar tentang
kejelekan sesama pelajar yang akhirnya jadi musuh. Inilah bahaya mulut, otak
dan hati yang harus dibersihkan kemudian diluruskan. Tak mungkin clurit
berbicara jika ketiga unsur tadi tidak rusak sebelumnya. Razia terhadap
benda-benda tajam itu mungkin efektif dalam masa pendek, namun untuk jangka
panjang perlu dirumuskan bagaimana melakukan brainwash kepada para pelajar ini
agar kembali ke jalan yang benar.
Buat sekolah khusus
dalam lingkungan penuh disiplin dan ketertiban bagi mereka yang terlibat
tawuran. Ini adalah cara memutus tali dendam dan masalah dalam dunia pelajar
kita. Jadi siapapun dan dari sekolah manapun yang terlibat tawuran, segera
tangkap dan masukkan dalam sekolah khusus yang memiliki kurikulum khusus bagi
mereka. Dengan jalan tersebut, setidaknya teman atau adik kelas mereka tak akan
lagi terpengaruh oleh ide-ide gila anak-anak yang suka tawuran ini. Tentu semua
hal tersebut harus didukung penuh oleh pemerintah dan semua pihak karena biaya
dan tenaga yang dibutuhkan awalnya akan sangat besar. Tapi apalah artinya semua
itu jika akhirnya kita akan menemukan kedamaian dalam dunia pendidikan kita.
Perbanyaklah Kegiatan
Ekstrakulikuler di Sekolah. Kegiatan yang biasa dilakukan sehabis selesai KBM
dapat mencegah sang pelajar dari kegiatan-kegiatan yang negatif. Misalkan
ekskul futsal, setelah selesai futsal pelajar pasti kelelahan sehingga tidak
ada waktu untuk keluyuran malam atau hang out dengan teman lainnya.
Pengembangan bakat dan
minat pelajar. Setiap sekolah perlu mengkaji salah satu metode ini, sebagai
acuan sekolah dalam mengarahkan mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri
dan tentunya orangtua pun menyetujuinya. Penelusuran bakat dan minat bisa
mengarahkan potensi dan bakat mereka yang terpendam.
Pendidikan Agama dari
sejak dini. Sangat penting sekali karena apabila seorang pelajar memiliki basic
agama yang baik tentunya bisa mencegah pelajar tersebut untuk berbuat yang
tidak terpuji karena mereka mengetahui akibatnya dari perbuatan tersebut. Agama
harus ditanamkan sejak dini, banyak sekolah-sekolah atau madrasah yang bisa
menjadi referensi pendidikan seorang anak dan biasanya mulai KBMnya siang
setelah selesai sekolah dasar. Dasar agama yang kuat membuat seorang pelajar
memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitarnya.
Boarding School (Sekolah berasrama). Bisa menjadi salah
satu alternatif mencegah pelajar dari tawuran. Biasanya di sekolah ini, waktu
belajar lebih lama dari sekolah umum. Ada yang sampai jam 4 sore, setelah
maghrib ngaji atau pelajaran agama. Selesai isya pelajar biasanya pergi ke
perpustakaan untuk belajar atau mengerjakan tugas. Jam 8 malam, pelajar baru
bisa istirahat atau lainnya. Sekolah ini sangat efektif menurut saya, pelajar
tidak ada waktu untuk berinteraksi dengan dunia luar karena kesibukan mereka.
Interaksi ada namun hanya satu kali dalam seminggu.
Sumber : https://afdhalrizqi.wordpress.com/2012/10/22/solusi-mengatasi-permasalahan-tawuran-antar-pelajar-di-indonesia/
Komentar
Posting Komentar